Minggu, 06 Juni 2010

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tanggal 2 Mei setiap tahunnya diperingati oleh pemerintah khususnya Departemen Pendidikan Nasional. Peringatan Hardiknas ini juga dilaksanakan di seluruh daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota. Untuk menghilangkan image negative dari masyarakat khususnya kalangan orang tua murid yang tidak mampu, bahwa acara peringatan tersebut hanya akal-akalan dan menghabiskan anggaran, biasanya acara peringatan ini dikemas dengan label “syukuran”.

Bertepatan dengan hari pendidikan tersebut, diberbagai daerah tanah air kita juga terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan bebagai kalangan khususnya mahasiswa dan aktivis yang peduli terhadap kelangsungan pendidikan di Indonesia. Tuntutan para demonstran pada hari pendidikan tahun ini kebanyakan adalah penghapusan komersialisasi pendidikan dan menagih janji pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar segera merealisasikan yang diucapkannya pada saat kampanye Pilpres tahun 2004 yang lalu, yaitu akan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% jika terpilih menjadi presiden.

Masih pada bulan Mei 2005 ini, kita juga dibuat terkejut, sedih bercampur malu membaca berita yang dimuat berbagai media massa tentang kasus bunuh diri seorang siswa akibat orang tuanya tidak mampu membayar uang sekolah. Kita yakin, semua pihak pasti setuju bahkan sangat mengharapkan peningkatan anggaran untuk sector pendidikan segera direalisasikan. Lalu, benarkan jika pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN segala persoalan pendidikan selama ini dapat teratasi dan kasus bunuh diri siswa diatas tidak terulang lagi ?. Dan siapa yang bisa menjamin bahwa anggaran sebesar itu tidak akan lagi dicuri oleh “Gerombolan Maling” yang masih banyak dan bebas berkeliaran di negeri ini ?.

Besarnya jumlah anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan bukanlah suatu jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang murah, apalagi gratis. Bahkan jika penegakan hukum di negeri ini masih tetap seperti “sarang laba-laba” mungkin keinginan untuk memperoleh pendidikan gratis tersebut hanya akan tetap merupakan sebuah wacana atau hanya akan ada di dalam mimpi belaka.

Sebagai gambaran bahwa besarnya anggaran untuk sector pendidikan bukanlah jaminan persoalan pendidikan dapat teratasi, pada tahun 2004 lalu Pemerintah Kabupaten Langkat telah mengalokasikan dana untuk sector pendidikan yang bersumber dari Anggaran pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp. 184.511.123.000,- atau sekitar 43 % dari Total APBD Langkat yaitu Rp. 421.574.725.000,- Dari jumlah tersebut, Rp.162.608.859.000,- adalah untuk belanja aparatur daerah pada Pos TK/SDN/SLTPN/SMUN/SMKN. Bukankah anggaran tersebut cukup besar jika dilihat secara umum ?. Lalu dapatkah masyarakat Kabupaten Langkat menikmati pendidikan yang murah tapi bermutu ?. Belum tentu, sebab ternyata di daerah ini masih banyak ditemukan anak usia sekolah yang tidak bersekolah (putus sekolah) disebabkan ekonomi orangtuanya yang tidak mampu.

Biaya pendidikan di sekolah pemerintah dan sekolah yang dikelola oleh swasta di Kabupaten Langkat sama mahalnya, sebab pada kenyataannya sama-sama dikomersialisasikan. Walaupun pemerintah melalui dinas pendidikan telah mengalokasikan anggaran yang cukup besar, tapi komersialisasi pendidikan tetap berjalan seperti tidak mendapatkan hambatan. Bahkan jika kita teliti secara lebih mendalam akan ditemukan indikasi kebocoran anggaran yang sangat besar di dinas ini. Semakin besar anggaran yang dialokasikan, maka semakin besar tingkat kebocoran tersebut. Tidaklah heran jika banyak yang berasumsi bahwa di dinas ini telah terjadi “Korupsi ganda”.

Hal seperti ini dapat kita lihat pada saat dilangsungkannya Ujian Akhir Sekolah (UAS) atau Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun lalu. Tidak ada satu sekolahpun yang mengakui bahwa mereka telah mengutip uang ujian, sebab hal tersebut dilarang oleh Dinas pendidikan. Tapi para siswa mengaku membayar uang ujian dan dibebankan membayar uang perpisahan yang jumlahnya kadangkala mencapai puluhan bahkan ratusan ribu rupiah. Padahal masih berdasarkan APBD Langkat TA.2004 Dinas pendidikan daerah ini telah mengalokasikan anggaran untuk UAS sebesar Rp. 1.290.237.500,-. Jumlah tersebut adalah untuk biaya pelaksanaan UAS 46.431 siswa yang terdiri dari 6069 siswa SMU, 16.022 siswa SLTP/MTs, 3340 siswa SMK dan 21.000 siswa SD. Anggaran ini meliputi biya cetak lembar jawaban dan soal, biaya transport monitoring UAS dan biaya untuk koreksi ujian.

Dari jumlah tersebut juga diketahui bahwa biaya UAS satu orang siswa adalah Rp.37.500,- untuk siswa SMU, Rp. 30.000,- untuk SLTP/MTs, Rp. 48.500,- untuk SMK dan Rp.21.500, untuk SD. Disamping itu Dinas Pendidikan Langkat juga mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 499.880.000,- untuk pembelian buku paket IPA, IPS dan Matematika khusus untuk siswa Sekolah Dasar. Namun ternyata semua siswa SD tetap dibebani dengan biaya pembelian buku paket yang harganya mencapai Rp.100.000,-/siswa.

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia salah satunya adalah diakibatkan buruknya system manajerial dan besarnya tingkat kebocoran anggaran . Ditambah dengan banyaknya jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi menyebabkan pendidikan di negeri ini “bagai cahaya lilin yang hampir padam”. Berdasarkan data dari Direktur Tenaga Kependidikan (Ditendik) Dikdasmen Depdiknas tahun 2004, tercatat guru SD, SLTP dan SMU yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebanyak 991.243 guru atau 45,96%. Sementara yang memenuhi kualifikasi pendidikan minimal 1.165.354 orang atau 50,04% dari total 2.156.597 guru diseluruh Indonesia. Jadi tidaklah salah jika Amidhan, salah seorang anggota Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran, bahkan telah sampai pada situasi krisis.

Uraian di atas mungkin dapat menjadikan gambaran bagaimana sebenarnya kondisi pendidikan di negeri kita. Jadi, peringatan Hardiknas yang dilaksanakan oleh berbagai daerah terutama Dinas pendidikan tahun ini dan dikemas dengan label “syukuran” mungkin menjadi peringatan Hardiknas yang “Kehilangan makna” dan hanya sekedar “seremoni” belaka. Dan masih yakinkah kita bahwa alokasi anggaran sebesar 20% dari APBN dapat menyelesaikan persoalan di bidang pendidikan ?. Bagaimana menurut anda ?. Salam





National Education Day (Education Day) on May 2 is celebrated annually by the government especially the Ministry of National Education. Education Day commemoration was also carried out in all regions, both provincial and district levels. To eliminate negative image of the community especially among parents who can not afford, that the commemoration is only a trick and spent the budget, this commemoration is usually packaged with the label "thanksgiving".

Coinciding with a day of education, the various areas of our country also happens bebagai demonstrations conducted among university students and activists who care about the continuity of education in Indonesia. Demands of the demonstrators on the day of this year's education is the elimination of most of the commercialization of education and government promise President Susilo Bambang Yudhoyono to immediately realize what he was saying at the time of election campaign in 2004, which would allocate the education budget by 20% if elected president.

Still in May 2005, we also made a surprise, sadness mingled with embarrassment to read news that was published in the national media about the suicide of a student because her parents can not afford to pay school fees. We believe all parties would agree, even so expect increased budgets for the education sector from reality. Then, justified if the government allocates the budget for education amounted to 20% of the national budget for all education problems can be overcome and the above student suicides did not happen again?. And who can guarantee that the budget for it will no longer be stolen by the "gang Burglar" still a lot and roam freely in this country?.

The magnitude of the budget allocated to education is not a guarantee for the public to get a cheap education, let alone free. Even if law enforcement in this country still remain as "cobwebs" may desire to obtain free education will only remain a discourse or just be there in the dream.

As an illustration that the magnitude of the budget for education sector is no guarantee of educational issues can be resolved, in the year 2004 and Langkat District Government has allocated funds for the education sector budget revenues derived from local expenditure (budget) amounted to USD. 184 511 123 000, - or about 43% of the total budget of Rp Langkat. 421 574 725 000, - Of this amount, Rp.162.608.859.000, - is for the local apparatus on Post Kindergarten / Elementary School / Junior High School level / SMUN / smkn. Was not a big enough budget when seen in general?. Then the public can enjoy Langkat a cheap but quality education?. Not necessarily, because it turns out in this area there are still many school-age children not attending school (school dropout) caused by parents who can not afford economic.

The cost of education in government schools and schools run by private Langkat as expensive, because in reality are equally commercialized. Although the government through the education department has allocated a big enough budget, but the commercialization of education continues to run like not getting resistance. Even if we are meticulous in more depth will be found indications of a very large budget leak in this department. The bigger the budget allocated, the greater the level of the leak. It is no wonder that many who assume that the bureau has occurred "double Corruption."

Things like this can be seen at the time dilangsungkannya SLC School (UAS) or the National Final Examination (UAN) last year. No single sekolahpun who admitted that they had been quoting the money test, because it is prohibited by the Department of Education. But the students admitted paying the money to pay the exam and the charged amount of separation that sometimes reach tens or even hundreds of thousands of dollars. Though still based on Department of Education Budgets TA.2004 Langkat this area has been allocated a budget for the UAS of Rp. 1290237500, -. This amount is for fees of the UAS 46 431 students consisting of 6069 high school students, 16 022 students Junior High, 3340 vocational students and 21,000 elementary students. This budget includes Biya and the answer sheets printed matter, monitoring the transport costs and costs for corrections UAS test.

From this amount is also known that the final cost of one student is Rp.37.500, - for high school students, Rp. 30 000 - for Junior High, USD. 48 500, - for PMS and Rp.21.500, for SD. In addition Langkat Education Department also allocated a budget of Rp. 499 880 000, - for the purchase of textbooks science, social studies and mathematics for elementary school students. But apparently all elementary school students remain burdened with the cost of purchasing books priced up to Rp 100,000, -/siswa.

The low quality of education in Indonesia, one of which is due to poor managerial systems and the level of the budget leak. Coupled with the large number of teachers who do not qualify cause of education in this country "like a candle that lights are going out." Based on data from the Director of Education Workforce (Ditendik) Dikdasmen Education Ministry in 2004, there were elementary school teachers, junior high and high school who do not meet the minimum educational qualification of teachers as much as 991 243 or 45.96%. Meanwhile, those who meet the minimum educational qualification of 1,165,354 people or 50.04% of the total of 2,156,597 teachers across Indonesia. So it is not wrong if Amidhan, a member of the National Commission on Human Rights (Komnas HAM) said that in the last few years of education in Indonesia has experienced a setback, even had reached a crisis situation.

The above description may make the picture of how the actual condition of education in our country. Thus, the Education Day commemoration held by the various areas, especially education office this year and is packaged with the label "thanksgiving" Education Day may be a warning that "Loss of meaning" and just "ceremonial" mere. And still we are sure that the budget allocation amounting to 20% of the state budget to resolve the problems in education?. How do you think?. Greeting

Tidak ada komentar:

Posting Komentar